Skip to main content

Islam Multi Partai

Pendahuluan
Pembicaraan wacana multi-partai di dalam Islam sudah banyak dibahas oleh kaum Muslim, bahkan di seluruh dunia baik yang pro maupun kontra. Asumsinya, kenyata-an pluralitas partai Islam sudah banyak dibahas para pakar di bidangnya. Tema ini di-angkat kembali sebagai refleksi kita bersama umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya yang tinggal beberapa hari lagi akan melakukan pesta demokrasi terbe-sar, yakni pemilu 2004. Pemilu 2004 ini bagi sementara orang dianggap sebagai pe-nentu masa depan bangsa Indonesia untuk keluar dari banyak sekali krisis yang masih berpengaruh melilitnya. Pemilu intinya merupakan jalan menuju suatu kehidupan politik yang demokratis sebagai sarana terbaik untuk membentuk pemerintahan yang mewa-kili lebih banyak didominasi rakyat. 


Dalam konteks pemilu 2004 ini, seluruh umat Islam hendaknya tidak lagi phobi terhadap kehidupan politik ini. Suara mereka dibutuhkan bisa tersalurkan pada parpol dan yang menyuarakan bunyi umat. Ini mendesak untuk dipikirkan alasannya yaitu larutnya keterpurukan bangsa dan berlarutnya kegamangan umat dalam berpolitik, alasannya yaitu belum meratanya pemahaman korelasi antara Islam dan politik. Bahkan, belum ber-satunya umat Islam di level global, nasional dan lokal sekalipun alasannya yaitu alasan pan-dangan yang berbeda-beda, dengan perbedaan yang kadang sangat ekstrim.

Dalam risalah ini penulis mencoba untuk mencari istilah al-Quran yang mempunyai pengertian lebih erat pada kata politik, termasuk pandangan Islam terhadap persoal-an politik sebagai agama yang diyakini pemeluknya mempunyai cakupan yang begitu luas; darul abadi dan dunia sekaligus, sakral dan profan.

Kata Politik dalam Al-Quran
Kata politik, jikalau seseorang ingin mencarinya istilah itu secara eksplisit, tidak ditemukan dalam al-Quran, menyerupai juga tidak ditemukannya kata-kata lain menyerupai tasawwuf, komputer, pesawat terbang, jembatan layang dan yang lainnya. Sebagai sumber aturan -dan bukan kitab hukum, al-Quran memang tidak merinci hal-hal tersebut di atas secara spesifik. Namun kenyataan ini bukanlah berarti al-Quran melarang seorang muslim untuk berkecimpung dalam persoalan-persoalan yang al-Quran tidak merincinya secara spesifik, termasuk berpolitik. Dalam persoalan-persoalan demikian justru nampak universalitas Islam dalam menghadapi ruang dan waktu yang terus berubah mengalami perkembangan. Sebuah kaidah ushuliyyah menjelaskan: al-Ashlu fi-l-asy’yaa [gairu-l ‘ibadah] al-ibahah, illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilaafihi, bahwa segala sesuatu intinya diperbolehkan kecuali ada nash yang melarangnya. Maka sungguh ironis apabila Kitab Suci yang membicarakan membasuh wajah, tangan dan kaki namun mengabaikan perkara yang lebih luas menyerupai politik. Al-Quran dengan demikian sudah barang tentu menawarkan petunjuk etis (moralitas, akhlak) dalam aktivitas-aktivitas politik. 

Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan ke dalam kata ’siyasah’, sebuah istilah derivatif dari kata saasa-yasuusu yang berarti mengemudi, mengendalikan, mengatur. Dalam al-Quran tidak ditemukan kata yang formulasinya terambil dari akar kata tersebut, namun sekali lagi ini bukan berarti bahwa al-Quran tidak memperhatikan soal politik. Uraian al-Quran wacana politik secara implisit, berdasarkan M. Quraish Shihab (1999), sanggup ditelusuru pada ayat-ayat yang mempunyai akar kata hukm. Kata hukm ini pada awalnya berati ‘menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan’. Dari akar kata yang sama terbentuk kata pesan yang tersirat yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna saasa-yasuusu-saais-siyaasah yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian.

Sebagai ‘perbuatan’ kata hukm berarti menciptakan atau menjalankan putusan, dan sebagai ‘sifat’ menunjuk pada sesuatu yang diputuskan. Hal ini menghasilkan putusan sebagai upaya politik. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata pesan yang tersirat dengan politik. Hikmah oleh sementara ulama diartikan sebagai budi (wisdom) atau kearifan, yakni kemampuan menangani suatu perkara sehingga mendatangkan mamfaat dan menghilangkan madharat. Pengertian ini sejalan dengan pengertian politik secara normatif sebagai bentuk asosiasi bersama insan dalam upaya mencapai kebaikan bersama dalam upaya mencari putusan bersama pula. 

Dalam al-Quran ditemukan sebanyak dua puluh empat kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian, di antaranya:“Siapa yang dianugerahi hikmah, maka beliau telah dianugerahi kebaikan yang banyak” (q.s AL-Baqarah/2:269). Di antara teladan ayat politik misalnya: “Dan jikalau kau berhukum, berhukumlah di antara mereka dengan ‘adil” (Q.S al-Maidah/5:42). Dalam banyak ayat al-Quran lainnya hukm diartikan sebagai keputusan yang bisa menuntaskan konflik dengan adil. Misalnya, “Aku akan’menghakimi’ kalian dalam hal-hal yang kamun perselisihkan” (Q.S Ali Imron/3:55). Di sini politik yaitu keputusan berupa konsensus untuk mengakhiri konflik. Dalam pengertian ini, secara hisatoris, para sobat memakai istilah hukm, menyerupai contohnya dikala Mu’awiyyah memberontak terhadap Ali, di mana konflik besar dan berdarah itu diselesaikan dengan insiden ‘tahkim’. Begitu juga dikala karenanya kaum Khawarij menolak konsensus ‘tahkim’ mereka merujuk pada ayat ‘ini-l hukmu illa Lillah’.

Relasi antara Islam dan Politik
Sebagai agama Islam diyakini semenjak awal membawa petunjuk kehidupan insan yang begitu luas dalam berinteraksi dengan Allah sebagai Tuhannya dan dengan masusia sebagai makhluk sosial, melalui prinsip-prinsip mendasar yang universal untuk ruang dan waktu yang tidak terbatas. Islam telah menawarkan suatu fondasi sebagai dasar yang begitu berpengaruh untuk terciptanya kehidupan yang seimbang antara kehidupan bahan dan spiritual, pikir (intelektual) dan dzikir (akhlak). Islam yaitu agama dunia dan darul abadi di mana keduanya menjadi bab integral yang tak terpisahkan sebagai pemaknaan mendalam dari pedoman yang paling dasar yaitu tauhid.

Dengan ungkapan lain apa yang disebut sekular di mata seorang muslim tidak sanggup dilepaskan dari perkara imannya. Dari sudut pandang ini impian kekuasaan politik menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran keimanan yang dinamis dan aplikatif. Ketidakterpisahan sikap politik dari pancaran pedoman etika (baca:akhlak) yang bersumber dari wahyu, idealnya menimbulkan kekuasaan politik diyakini sebagai amanah (berat) yang akan dipertanggungjawabkan di pengadilan Allah Yang Maha Adil. Kekuasaan politik dipahami sebaliknya sebagai kendaraan moral untuk membumikan pesan-pesan langit biar 'membumi' (Ahmad Syafii Maarif,1996). Dari integralitas kedua hal di atas, meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif (1997), Islam mememerlukan mesin politik atau kekuasaan, sebagai salah satu cara efektif untuk membumikan impian itu secara nyata, sistematis dan menyeluruh.

Berangkat dari keyakinan di atas tadi, orang-orang muslim semenjak awal menolak dengan tegas agama dalam paradigma Barat di mana wilayah kerja agama dibatasi hanya berkisar pada persoalan-persoalan eksklusif (private affair) dengan Tuhan saja. Agama dalam paradigma Barat ini dikonseptualisasikan dengan religion yang cakupan maknanya berbeda dengan din sebagai konsep agama dalam Islam. Sebagai din, Islam harus dipahami sebagai pedoman yang multidimensial meliputi aspek kehidupan yang bersifat religius-spiritual dan sosial kemasyarakatan yang secara doktrinal dan historis tidak terpisahkan sebagai kesatuan pandangan yang bertumpu pada pedoman tauhid tadi. Konsep dasar tauhid ini kemudian diformulasikan dalam tiga komponen pedoman Islam ke dalam aqidah, syariah dan akhlak.

Dari kenyataan-kenyataan di atas menjadi terperinci apabila diskursus wacana Islam dan politik selalu dibangun di atas perkiraan ketidakterpisahan di antara keduanya, bahwa antara Islam dan politik terkait erat satu dengan yang lainnya. Sepanjang sejarah pemikiran Islam dan di dalam pembahasan-pembahasan tentangnya, aspek politik senantiasa menjadi salah satu info sentral namun demikian hingga kini belum tuntas dibicarakan.

Penutup
Dari paparan singkat risalah ini nampaknya pandangan sekularistis apabila seo-rang Muslim tetap memandang politik sebagai dimensi kehidupan yang terpisah dari tanggung jawab keagamaannya. Dilihat dari beling mata teologis dan kenyataan sejarah memperlihatkan apabila politik juga masuk dalam ranah garapan dan kepedulian Islam. Nampaknya hanya isapan jempol belaka jikalau umat Islam mengklaim sebagai aga-ma rahmatanlil 'alamin tetapi tidak mengindahkan aspek politik sebagai tanggung jawab kekhalifahannya. 

Pada karenanya sebagai renungan menyongsong Pemilu 2004 ini, penulis kutip sebuah hadits Nabi Saw.yang memakai ‘hakim’ atau ‘hukkam’ untuk menunjuk para pemegang kekuasaan. Dalam hadits ijtihad dikatakan bahwa yang berijtihad itu bukan ulama atau faqih, tetapi hakim. Nabi bersabda, “Bila seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapatkan pahala dua. (Dan) jikalau hakim berijtihad (berhukum) dan ijtihadnya salah, ia mendapatkan satu pahala”. Hadits ini sudah sering dipakai untuk menawarkan pengertian toleransi di kalangan mujtahid fiqh. Namun satu hal yang terlupakan bahwa kata hakim, menyerupai ditulis Jalaluddin Rakhmat (1997), lebih sempurna diartikan bagi seorang mujtahid dalam lapangan politik. Akibat logis dari itu, kita bisa toleransi dalam perbedaan tata cara shalat misalnya, tetapi tidak mau mendapatkan perbedaan dalam seni administrasi politik. Terlalu sering kita me-nyaksikan jatuhnya korban dan darah mengalir dengan sia-sia alasannya yaitu perbedaan seni administrasi politik Islam, terutama kepemimpinan. Kita umat Islam yang satu ini, tidak tidak mungkin bersatu justru dalam keragaman partai politik ini. Wallahu 'alam bi showab.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar