Skip to main content

Signifikansi Agama Dalam Politik

Hingga sekarang agama diakui mempunyai fungsi ganda (double function), yakni da-lam kaitan dengan legitimasi kekuasaan dan privelege dan dengan penolakan dan oposisi. Dalam fungsi pertama, agama muncul sebagai apologi dan legitimasi sta-tus quo dan budaya ketidakadilan; sedang dalam fungsi kedua, ia menjadi alat protes, perubahan dan pembebasan. 

Bersamaan dengan munculnya teori-teori sekularisasi dan modernisasi yang memprediksikan runtuhnya signifikansi agama dalam kehidupan kontemporer, karenanya perlu dikedepankan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan publik memerlukan agama?. Agar sanggup melihat secara sempurna kiprah agama dalam kehi-dupan publik dan pembuatan kebijakan, perlu merumuskan pertanyaan secara be-nar. Seperti dikatakan para jago bahwa separuh tanggapan bergantung pada formu-lasi pertanyaan secara benar. 


Pertanyaan di atas mungkin retorika belaka; ia dimaksudkan untuk mempro-vokasi diskusi kritis menyangkut batas korelasi yang sesungguhnya antara kebi-jakan publik dan agama. Kendati bukan hal baru, namun pertanyaan itu memun-culkan pertanyaan-pertanyaan terkait lainnya. Bagaimana seharusnya kebijakan publik dicapai dalam alam demokrasi?. Bagaimana semestinya korelasi agama dengan politik dalam masyarakat modern yang mengalami modernisasi dan seku-larisasi?. Apakan antara agama dan politik harus sama sekali putus korelasi dan agama harus diprivatisasi?. Atau, agama harus sedemikian penting jadinya sehing-ga mendominasi kebijakan-kebijakan publik?. 

Pembicaraan perihal korelasi agama dan politik atau antara agama dan ne-gara bergotong-royong yakni disebabkan beberapa insiden penting yang terjadi di be-rapa kawasan di belahan bumi ini, di antaranya yakni revolusi Iran –suatu revolusi yang digerakkan oleh keyakinan agama (syiah) dan dipimpin oleh seorang ayatul-lah (Khomeini), dan timbulnya gerakan-gerakan fundamentalisme dari aneka macam a-gama di dunia. Dari kedua insiden dan gerakan ini ada suatu hal yang menarik perhatian, yaitu apa yang disebut dengan 'politisasi' agama. Hal ini nampak pada minat para pemeluk agama untuk mengatur negara atau pemerintahan mereka ber-dasarkan nilai-nilai keagamaan. Mereka berusaha menciptakan budi dan program-program yang berdasarkan mereka dijiwai oleh ajaran-ajaran agama. Feno-mena ini tentu saja bertentangan dengan paham yang dianut oleh kebanyakan ma-syarakat Barat di mana agama dan politik atau negara harus dipisahkan –sekular-isme. Bagi Barat agama yakni urusan pribadi, non-politik, berkenaan dengan kasus ketuhanan yang sakral dan supernatural. Sedangkan politik bekerjasama dengan masalah-masalah duniawi yang profan dan temporal.

Menurut Ronald Robertson dalam tulisannya "Globalization, Politics and Re-ligion" (1989), politisasi agama yang terjadi remaja ini bukanlah suatu keadaan yang unik dan sama sekali bukanlah suatu fenomena gres (1989:12) di mana yang terjadi di dalam masyarakat Islam yang secara historis korelasi keduanya me-nampakkan suatu kekerabatan yang begitu erat. Statemen yang sangat mendukung ada-nya korelasi yang erat antara agama dan politik ini dikemukakan oleh Raimundo Panikkar, seorang profesor of Religious Studies di Universitu of California, Santa Barbara. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul "Religion or Politics: The Western Dilemma" (1983), ia menyampaikan bahwa tidak ada faktor keagamaan yang pada waktu bersamaan bukanlah suatu faktor politik (1983:50). Selanjutnya ia menyampaikan bahwa tidak hanya acara insan mengandung a sacred thrust dan religious energy, tetapi keinginan keagamaan kontemporer juga mengandung suatu kepentingan sekular dan keterlibatan politik (1983:52). Ia menegaskan: Religion is eminently political, and politic essentially a religious matter. Re-ligion has to do with an concrete man –a political animal, while politics can-not ignore the nature of man, who is the religious animal. The religion for our times must be political, and thus cannot keep itself on the edge of problems of injustice, hunger, war, exploitation, the power of money, the function of economy, armament, ecological question, demographic problem, ets (1985: 55). 

Relasi dan satus agama dan politik atau lebih jelasnya korelasi agama dan ideologi negara, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari suatu agama yang dimaksud. Apabila faktor internal agama selalu dikaitkan dengan seberapa jauh masing-masing dari atau suatu agama itu mempunyai kandungan keyakinan khusus yang memuat korelasi antara agama dan kehidupan dunia yang menyangkut world view agama itu, termasuk politik. Baik, keyakinan yang bersifat implisit yang melahirkan aneka macam tafisr maupun dalam bentuk cetak biru (blue print). Sementara faktor eksternal daripada agama ini lebih berkaitan dengan ada dan tidaknya sistem politik, atau pemerintahan selaku pe-nyelenggara negara yang menyampaikan ruang pada aktualisasi ideologi keagamaan, baik dalam bentuk partai politik ataupun kelembagaan lainnya. Dalam konteks faktor eksternal ini dalam kasus Indonesia misalnya, bahasan perihal korelasi antara agama dan politik dalam kasus Islam di Indonesia bagaikan suatu perjalanan sentimental. Maksudnya, membicarakan Islam dan politik di Indonesia melibatkan 'kekhawatiran dan harapan usang yang mencekam'. Daerah ini penuh dengan resiko, kepekaan dan ranjau kerawanan, sehingga pekerjaan harus dilakukan dengan kehati-hatian yang secukupnya. Tetapi berhati-hati tidaklah berarti terlambat dan kehilangan tenaga untuk melangkah. Sebab, pembicaraan harus dilakukan juga mengingat aneka macam alasan dan keperluan. 

Oleh lantaran worl view Islam yang tidak melihat distingsi di antara dimensi kehidupan profan dan yang sakral, akan tetapi bagi Islam kedua aspek tersebut intinya merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisah menjadi bagian-bagian yang lepas, maka tidak mengherankan apabila Islam merupakan agama yang paling terlibat dalam merumuskan korelasi agama dan politik (negara) bila dibandingkan dengan agama lain. Islam sebagai agama aturan melihat korelasi antara agama dan politik secara inheren, meskipun dalam format perumusannya telah mengalami aneka macam perbedaan interpretasi khususnya yang menyangkut aktualisasi nilai.

Dengan demikian sejauh menyangkut korelasi antara agama dan politik, semenjak awal bagi kaum Muslim, korelasi antara keduanya dalam Islam sudah sa-ngat jelas. Bahwa di antara keduanya terkait erat tak terpisahkan, sekalipun dalam segi pendekatan teknis dan simpel sanggup dibedakan. Islam sekali lagi tidak menge-nal pemisahan antara persoalan-persoalan yang profan dengan yang sakral, antara kehidupan politik dan agama. Islam memandang apabila politik merupakan salah satu dari kiprah keagamaan dan keduniaan sekaligus yang dilaksanakan secara si-multan. Apa yang disebut kehidupan sekular bagi seorang Muslim tidak sanggup dilepaskan dari kasus imannya. 

Dalam kerangka kesatuan agama dan politik ini, politik sebagai salah satu wa-tak antropologis yang konkrit dalam kehidupan nyata insan di dunia tidak dipa-hami hanya sekedar pemenuhan kiprah keduniaan yang hanya mengejar kepenting-an-kepentingan pragmatis dengan orientasi yang bersifat sementara atau jangka pendek. Politik dengan demikian dalam Islam diberi muatan moralitas atau etik a-gama sehingga ia menemukan kenyataan hakikinya sebagai refleksi tanggung ja-wab insan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi baik tanggung jawab secara ketuhanan dan kemanusiaan. 

Signifikansi agama dalam politik bukan lantaran agama menyampaikan petunjuk politik yang rinci dan detail namun lantaran nilai etika atau moralitas yang terkan-dung di dalamnya. Etika ini menjadi mutlak diharapkan lantaran pada kenyataannya dikala politik ada pada ranah riil, ia selalu muncul dalam bingkai sebuah fenome-na politik kekuasaan. Politik kekuasaan yang dimaksud berupa sikap politik yang semata-mata mempunyai orientasi jangka pendek untuk memperoleh dan mere-but kekuasaan. Asumsi yang dibangun dalam fenomena politik kekuasaan ada-lah bahwa dengan kekuasaan politik seseorang atau sekelompok masyarakat akan memperoleh laba materi secara gampang dan melimpah, popularitas dan fasi-litas yang akan menciptakan hidupnya berkecukupan dan terhormat. Dalam format politik ini tidak tidak mungkin seseorang akan mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuan politiknya, lantaran yang menjadi tujuan dan ukuran yakni kekuasaan an sich. 

Diperlukan orientasi politik moral –sebagai kebalikan dari politik kekuasaan, yang di dalamnya memuat nilai-nilai dan etik agama semoga kekuasan politik yang diperoleh tidak mengalami pengikisan orientasi, disorientasi. Kekuasaan politik dalam konteks politik moral bukan menjadi tujuan akhir, akan tetapi sebagai kendaraan dari keinginan moral agama dan kemanusiaan. Berdasarkan konsep politik moral demikian maka orientasi dalam rangka mendapat kekuasaan diupayakan de-ngan memakai pertimbangan-pertimbangan moralitas politik. Kekuasaan se-bagai tujuan yang hendak dicapai tidak semata-mata untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan lebih diperuntukkan bagi kemanusiaan secara universal sebagai belahan dari acara dedikasi pada Tuhan, ibadah.

Pada realisasinya meskipun memang etika politk tidak sanggup menyampaikan pe-mecahan yang baku, namun ia menyampaikan kejelasan struktur etis terhadap prob-lem-problem dan situasi-situasi. Dalam pengertian ini etika politik tidak sanggup me-nyelesaikan 'konflik' politik misalnya, akan tetapi di sinilah signifikansi etika a-gama lantaran ia sanggup menyebabkan konflik itu beradab dan manusiawi, agree in disagreement. Dalam diskursus remaja ini ia sanggup menjadi semacam wadah dalam administrasi konflik. Sebab tujuan utama etika politik bukanlah realitas politik, se-perti sebuah negara atau sistem hukum, namun ia menyoroti moralitas kemanu-siaan dalam berpolitik dan prinsip-prinsip etis lainnya. 

Agama sebagai 'kompendium' etik yang nyata yakni wewenang Tuhan untuk insan yang dibawa oleh pesuruh-Nya, rasul, melalui wahyu atau gosip suci yang diterimanya dari-Nya. Agama mempunyai kebenaran yang diktatorial lantaran ia memang berasal dari Dzat Yang Absolut. Namun dikala agama berada di tengah-tengah para pemeluknya, terlebih ada institusinya, ia menjadi fenomena-fenome-na nyata manusia. Dengan ungkapan lain, dikala 'membumi' agama menjadi feno-mena-fenomena sejarah, politik, budaya dan kelompok. Sedangkan politik yakni bidang wewenang insan sebagai refleksi-dialektik dengan kehidupan sosio-po-litiknya, khususnya yang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan pro-sedural politik. Pada susunan formal, struktural serta segi-segi simpel dan teknis ini, politik dikategorikan sebagai suatu kerja ijtihad. Yakni, upaya intelektual (po-litis) untuk memahami makna dari suatu teks atau preseden masa lampau dengan cara mengubah, memperluas, membatasi atau memodifikasi sedemikian rupa se-hingga suatu situasi sanggup dicakup di dalamnya dengan suatu solusi baru. De-ngan kerangka inilah sanggup dilihat dengan gampang posisi agama yang mengajarkan etik luhur dalam kehidupan politik, begitu juga sebaliknya. 

Dalam konteks Islam, bahwa sosok agama yang ideal yakni Islam yang sesu-ai dengan cita dan kehendak Allah, sang wewenang agama tadi, baik pada dimensi doktrinal-teologis yang normatif maupun pada ranah historisitasnya yang partikal-implementatif. Di sinilah Islam dinamakan sebagai idealitas ilahiyah. Secara konkrit hal itu sanggup dilihat pada keyakinan dasar Islam dan realisasinya dalam praktek pada tatanan korelasi insan dengan Allah dalam bentuk upacara ritual atau ibadah mahdhah, yakni ibadah yang fatwa dan prakteknya ditetapkan secara terperinci sehingga referensi pengamalannya secara ritual-doktrinal telah baku serba tetap, final, niscaya dan mengatasi ruang dan waktu. Perubahan atau modifikasi terhadap tata cara pengamalannya dalam bentuk apa pun yakni tidak diharapkan bahkan terlarang. Inilah pengertian Islam dalam normativitas atau idealitas ilahiyahnya yang meliputi dimensi-dimensi aqidah, syariah dan akhlak. Tidak demikian halnya dengan doktrin-doktrin Islam yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang secara substansial doktrin-doktrin Islam untuk itu diyakini secara sama. Namun sanggup berbeda pada dataran pemahaman dan prakteknya. Inilah selanjutnya apa yang dinamakan Islam sebagai relitas insaniyah. Islam pada dimensi ini boleh jadi tidak selalu pas dengan keyakinan idealitasnya dan boleh jadi mendekati keyakinan ideal Islam yang dikehendaki Tuhan. Islam realitas insaniyah merupakan hasil pergulatan dan pemikiran umat Islam dalam upayanya menafsirkan, memahami dan menerapkan Islam dalam konteks lokalitas, waktu dan ruang, tertentu. Pada dimensi Islam inilah politik menempati posisinya.

Menurut W. Montgomery Watt terdapat dua posisi penting agama di dalam politik ini. Pertama, gagasan idealitas atau normativitas agama menjadi kerangka intelektual dalam keterlibatannya dengan aneka macam macam aktivitas-historis, reali-tas insaniyah, sehingga acara itu memperoleh arti pentingnya. Kedua, agama sanggup memilih bentuk-bentuk motif dalam acara yang akan dilakukan. Signifikansi agama dalam politik ini dipahami bukan lantaran agama menyampaikan klarifikasi yang sifatnya rinci terhadap semua hal, akan tetapi lantaran agama menyampaikan aneka macam tujuan umum kepada insan dalam kehidupannya dan membantu mereka memusatkan kekuatan untuk mencapai aneka macam tujuan ter-sebut. Agama dengan demikian sanggup dikembangkan semacam legitimasi atau pa-radigma etik dan moral politik. Gagasan moral dan etik ini sesungguhnya diang-gap sebagai klarifikasi tujuan secara umum dalam kehidupan politik.
Dengan demikian pembahasan penting dalam korelasi erat antara persoalan-persoalan politik dengan agama yakni bahwa segi-segi atau nilai-nilai moral etis di dalam agama, khususnya dalam segi tujuan yang merupakan tanggapan atau per-tanyaan 'untuk apa' tidak dibenarkan kosong dari pertimbangan nilai-nilai aga-ma. 

Terdapat beberapa alasan paling tidak mengapa putusan-pututsan untuk ‘apa tadi’ harus bertumpu pada nilai dan etik agama ini, pertama, para pemikir religius percaya bahwa semua putusan moral harus bertumpu pada Kitab Suci. Kedua, bahwa insan sebagai objek tujuan politik, secara intrinsik berharga. Yakni suci; baik dalam arti religius maupun sekular. Ketiga, bahwa insan mempunyai hak-hak kodrati yang dihentikan dilanggar oleh siapa pun, termasuk oleh undang-undang atau hukum. Keempat, nampaknya penting untuk ditulis di sini yakni bahwa penbenaran politik tidak sama dengan pembenaran moral di mana terdapat kemungkinan yang bahkan tidak sejalan dengan moralitas. Lingkup keputusan politik meliputi keputusan-keputusan yang mementingkan hasil. Lazimnya, keputusan-keputusan politik merupakan taruhan atas konsekuensi-konsekuensi baik yang telah diperkirakan dan oleh para pendukungnya diharapkan akan diwujudkan dalam keputusan-keputusan itu. Dengan alasan-alasan demikian, hakikat politik yang bernuansakan motif agama ini, diharapkan akan menum-buhkan acara politik yang ideal dan etis, dalam kegiatan politik yang bermoral dan berakhlak mulia. Inilah makna lain dari ketidakterpisahan agama dan politik. 

Pada jadinya agama sebagai salah satu icon penting dalam konstruksi tata korelasi masyarakat selalu dituntut untuk mengartikulasikan prinsip-prinsip eti-ka universalnya. Sebab bila disadari dengan betul, agama sebetulnya mempunyai kiprah strategis dalam berbagi etika sosial, ekonomi dan politik. Dalam konteks demikian Islam berarti tidak saja dikembangkan dalam format pemikiran murni spekulatif tetapi juga harus ditempatkan sebagai dasar etika sosial di mana praksis sosial digerakkan. Sebagai sesuatu yang mengusung nilai-nilai dan etik ini, agama dengan demikian sudah selayaknya dieksplorasi makna-maknanya se-cara kontekstual untuk diupayakan eksistensi dan kiprah nyatanya dalam tata ke-hidupan manusia, baik yang bercorak sosial budaya, ekonomi maupun politik. Signifikansi agama (Islam) dalam kehidupan politik, lantaran dalam sejarahnya agama sanggup melampaui batas-batas normatif. Hal itu akan nampak pada ke-terlibatan agama dalam memberi kesemestaan makna (the meaning of universal) dalam lapangan politik ini. Agama dalam fenomena demikian menjadi suatu krite-rium penilai (value judgement) di mana seluruh konstalasi politik mendapat konsiderasi etik dan moral. Dalam perspektif lebih jauh agama sanggup menjadi ke-kuatan kritik. Kritik terhadap, dalam konteks ini, perilaku-perilaku politik kekua-saan yang mempunyai orientasi pragmatis jangka pendek, kritik terhadap pema-haman dangkal yang menyebabkan 'konflik' sebagai faktor pemicu perpecahan dan lain-lainnya.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar