Skip to main content

Balasan Melimpah Dari Sebuah Kejujuran




Di antara gejala kejujuran ialah takut kepada Allah dan zuhud dalam urusan dunia. Orang yang jujur dalam urusan dunia. orang yang takut dalam keyakinannya akan takut memakan barang-barang haram. Dia lebih memikul kemiskinan dan kesulitan demi mengharap surga. Jika beliau berdosa, maka beliau tidak tidur hingga beliau kembali kepada Tuhannya dan berlepas diri dari dosanya.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pada demam isu haji saya berada di Mekah. Aku melihat seorang pria dari Khurasan mengumumkan ‘Wahai para jamaah haji, wahai penduduk Mekah, di kota maupun di pedesaan, saya kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa yang mengembalikannya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan membebaskannya dari neraka, serta beliau mendapat pahala tanggapan pada hari kiamat.”
Berdirilah seorang pria renta dari penduduk Mekah. Dia berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, demam isu haji ialah waktu yang terbatas, hari-harinya terhitung, dan pintu-pintu perjuangan tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin yang miskin atau orang lanjut usia dan beliau mendapatkan janjimu. Seandainya beliau mengembalikannya padamu, apakah kau bersedia memberinya sedikit harta yang halal?”
Khurasani menjawab, “Berapa jumlah hadiah yang beliau inginkan?”
Orang renta menjawab, “Sepuluh persen, seratus dinar.”
orang Khurasan itu tidak mau. Dia berkata, “Tidak, tetapi saya menyerahkan urusannya kepada Allah dan akan saya adukan beliau pada hari dimana kita semua meghadap kepada-Nya. Dialah yang mencukupi kita dan sebaik-baik pelindung.”
Ibnu Jarir berkata, “Hatiku berkata bahwa orang renta itu ialah orang miskin. Dialah penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya hingga beliau datang di rumahnya. Ternyata dugaanku benar, saya mendengarnya memanggil, ‘Wahai Lubabah’. Istrinya menjawab, ‘Baik Abu Ghiyats’. Orang itu berkata lagi, “Baru saja saya berjumpa dengan pemiliki kantong yang mengumumkan kehilangan kantong ini, tetapi beliau tidak mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah menyampaikan kepadanya untuk memberi seratus dinar, tapi ia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang harus saya lakukan wahai Abu Lubabah? Haruskah dikembalikan? Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku bertumpuk-tumpuk.”
Lubabah, istrinya menjawab, “Suamiku, kita telah menderita kemiskinan selama 50 tahun. Kamu mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, saya istrimu dan juga ibuku, kemudian kau yang kesempbilan. Kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala. Ambil semua uangnya. Kenyangkan kami, alasannya ialah kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami. Kamu lebih mengerti wacana keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya setelah itu. Maka kau sanggup mengembalikan uang itu setelah kau memberi makan keluargamu, atau Allah melunasi utangmu ini di hari kiamat.”
Pak renta itu berkata pada istrinya, “Apakah saya makan barang haram setelah saya menjalani hidup selama 86 tahun? Aku memperabukan perutku dengan neraka setelah sekian lama saya bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal saya sudah di ambang pintu kubur. Demi Allah saya tidak akan melakukannya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak renta itu dan istrinya. Keesokan harinya pada waktu yang sama dengan kemarin, saya mendengar pemiliki dinar mengumumkan, “Wahai penduduk Mekah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari desa maupun dari kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar, maka hendaknya beliau mengembalikannya kepadaku dan baginya tanggapan pahala dari Allah.”
Bapak renta itu bangkit dan berkata, “Hai orang Khurasan, kemarin saya telah menyampaikan kepadamu, saya telah memberimu saran. Di kota kami ini, demi Allah, tumbuh-tumbuhan dan ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga beliau tidak melanggar syariat. Aku telah menyampaikan kepadamu untuk memberi orang yang menemukan kantong tersebut seratus dinar, tetapi kau menolaknya. Jika uang tersebut ditemukan oleh seseorang yang takut kepada Allah, apakah sudi kau memberinya sepuluh dinar saja, bukan seratus dinar? Agar sanggup menjadi epilog dan pelindung baginya dalam kebutuhannya sehari-hari.”
Orang Khurasan itu menjawab, “Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan mengadukannya pada ketika kita bertemu dengan-Nya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.”
Orang renta itu menariknya sambil berkata, Kemarilah kamu. Ambillah dinarmu dan biarkan saya tidur di malah hari. Aku tidak pernah damai semenjak menemukan harta itu.”
Ibnu Jarir berkata, “Orang renta itu pergi bersama pemiliki dinar. Aku membuntuti keduanya hingga orang renta itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar itu. Dia berkata, ‘Ambil uangmu. Aku memohon kepada Allah biar memaafkanku dan memberiku rezeki dari karunia-Nya’.”
Orang Khurasan itu mengambil dinarnya, dan ketika beliau hendak keluar, ia kembali bertanya, “Pak tua, bapakku wafat -semoga Allah merahmatinya- dan meninggalkan untukku tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, ‘Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang paling berhak menerimanya menurutmu’. Maka saya menyimpannya di kantong ini hingga saya memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah, semenjak saya berangkat dari Khurasan hingga di sini saya tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu. Ambillah! Semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas amanahmu dan membalas kesabaranmu atas kemiskinanmu.” Lalu beliau pergi dan meninggalkan dirinya.
Bapak renta itu menangis. Dia berdoa kepada Allah, “Semoga Allah memberi rahmat kepada pemiliki harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya.”
Ibnu Jarir berkata, “Maka saya pun meninggalkan daerah itu dengan berjalan di belakang orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan meminta kembali. Dia berkata kepadaku, ‘Duduklah, saya melihatmu mengikutiku semenjak hari pertama. Kamu mengetahui informasi ini kemarin dan hari ini. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar dan Ali radhiallahu ‘anhuma, “Apabila Allah memberi kalian berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan, maka terimalah dan jangan menolaknya. Karena kalau demikian, maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah”. Dan ini ialah hadiah dari Allah bagi siapa saja yang hadir.”
Abu Ghiyats kemudian memanggil, “Wahai Lubabah, wahai Fulanah, wahai Fulanah.” Dia memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan memintaku untuk duduk. Kami semua bersepuluh. Dia membuka kantong dan berkata, “Beberkan pengukuhan kalian.” Maka saya membeberkan pengakuanku. Adapun mereka, alasannya ialah tidak mempunyai pakaian, maka mereka tidak sanggup membentangkan pengukuhan mereka. Mereka menadahkan tangan mereka. Pak renta itu mulai menghitung dinar demi dinar, hingga pada dinar kesepuluh beliau memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kamu sanggup dinar.” Isi kantongnya yang seribu dinar itu pun habis dan saya diberinya seratus dinar.
Ibnu Jarir berkata, “Kebahagian mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku daripada mendapatkan 100 dinar ini. Manakala saya hendak pergia, beliau berkata kepadaku, “Anak muda, kau penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini dan juga tidak pernah memimpikannya. Aku berpesan kepadamu bahwa harta itu halal, maka jagalah dengan baik. Ketahuilah, sebelum ini saya shalat subuh dengan baju lama ini. Kemudia saya melepasnya sehingga anakku satu per satu sanggup memakainya untuk shalat. Lalu saya pergi bekerja antara zuhur dan asar. Pada petang hari saya pulang dengan membawa rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian saya melepas pakaian lama ini untuk dipakai shalat zuhur dan asar oleh putri-putriku. Begitu pula shalat maghrib dan isya. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga harta ini bermanfaat, dan semoga apa yang saya dan kau ambil juga bermanfaat. Semoga Allah merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya, dan berterima kasih kepadanya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku berpamitan dengannya. Aku telah mengantongi seratus dinar. Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkosnya dengan uang itu. Enam belas tahun kemudian saya kembali ke Mekah. Aku bertanya wacana bapak renta itu dan ternyata beliau telah wafat beberapa bulan setelah bencana itu. Begitu pula istrinya, mertuanya, dan dua saudara perempuanya, semuanya telah wafat kecuali putri-putrinya. Aku bertanya wacana mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu alasannya ialah informasi kebaikan orang tuanya yang menyebar di seantero negeri. Aku singgah di rumah suami-suami mereka dan mereka menyambutku dengan baik, memuliakanku, hingga Allah mewafatkan mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat.”
Firman Allah Ta’ala, “Demikianlah diberi pengajaran kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, pasti Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Lihatlah bagaimana rezeki yang didapatkan Abu Ghiyats, rezeki yang Allah menetapkan tidak berkurang alasannya ialah kejujuran dan tidak pula bertambah dengan kebohongan atau dusta demikian pula jatah rezeki tersebut tidak bertambah dengan Korupsi.


Sumber http://www.rumahyatimindonesia.com/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar