Skip to main content

Kemaksiatan Menambah Keimanan Seorang Muslim

Ibnul Qoyyim Al Jauziyah: “Kemaksiatan Menambah Keimanan Seorang Muslim”

Ada insan yang beropini bahwa terjadinya maksiat bisa menambah keimanan. Sudut pandang ini termasuk yang paling halus, sehingga jarang ada orang yang bisa menerapkannya. Hanya orang andal ma'rifat saja yang bisa menerapkan sudut pandang ini. Mungkin saja orang yang mendengar pernyataan ini dengan serta-merta akan protes. Dia akan berkata lantang: "Bagaimana mungkin perbuatan dosa dan maksiat diakui bisa menambah keimanan? Apalagi kalau dosa dan kemaksiatan itu dilakukan oleh seorang hamba Allah. Bukankah perbuatan itu akan semakin mengurangi kadar keimanan dalam dirinya? Bukankah para ulama salaf juga bersepakat bahwa keimanan bertambah jawaban ketaatan kepada Allah dan berkurang jawaban maksiat kepada-Nya?

Ketahuilah bahwa kesimpulan semacam ini dihasilkan dari perenungan seorang yang ma'rifat (mengenal Allah sangat dekat) terhadap dosa-dosa dan perbuatan maksiat yang berasal dari dirinya maupun orang lain. Orang yang terpelajar merenungkan perbuatan dosa dan maksiat hingga dengan jawaban yang dihasilkan perbuatan bejat tersebut. Dan ternyata sanggup disimpulkan bahwa jawaban dari perbuatan dosa dan maksiat yang biasanya menimbulkkan tragedi dan munculnya mu'jizat, merupakan salah satu dari gejala kenabian dan sebagai bukti kebenaran pam rasul Allah Ta'laa. Bahkan jawaban perbuatan dosa itu malah menegaskan kebenaran pedoman yang dibawa para rasul Allah tersebut.

Sesungguhnya para rasul Allah shalawaatullahu wa salaamuhu 'alaihim memerintahkan ummat insan untuk membenahi kondisi lahir maupun batin mereka, baik di
kehidupan dunia maupun akhirat. Para rasul juga melarang mereka untuk melaksanakan kerusakan pada lahir-batin mereka baik di dunia maupun akhirat. Maka utusan-utusan Allah itu memberitahukan kepada umat insan bahwa sesungguhnya Allah itu menyukai perbuatan yang ini dan itu. Allah juga akan mengganjar perbuatan yang telah dilaksanakan. Para rasul juga memberitahukan bahwa Allah membenci perbuatan yang ini dan itu. Dan Allah akan mendatangkan siksa atas perbuatan tersebut. Apabila umat insan mentaati apa yang telah Dia perintahkan kepadanya, maka Allah akan bersyukur kepadanya dengan cara menawarkan dukungan dan aksesori kenikmatan di dalam hati, jasad maupun hartanya. Maka hamba tersebut akan mencicipi kecukupan dan kekuatan di setiap situasi. Akan tetapi apabila perintah dan larangan-Nya dilanggar, maka hal itu menyebabkan ketidak-cukupan, kerusakan, kelemahan, kehinaan, diremehkan, dan kehidupan yang terasa sangat sempit.

Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta'aala: 'Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri jawaban kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”(QS. an-Nahl (16):67). "Katakanlah: "Hai hamba-hamha-Ku yang beriman, bertaqwalah kau kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang bcrbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan." (QS. az-Zumar (39):10). "Dan scsungguhnya kampung alam abadi yaitu lebih baik."(QS.an Nahl(16):30). "Dan hendaklah kau meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Jika kau mengerjakan yang demikian, pasti Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampa i kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kau berpaling, maka sesungguhnya saya takut kau akan ditimpa siksa hari kiamat" (QS. Huud (11):3). "Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari simpulan zaman dalam keadaan buta” Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan saya dalam keadaan buta, padahal saya dahulunya yaitu seorang yang melihat?" (QS. Thaaha (20):124-125).

Yang dimaksud dengan kehidupan yang sempit di dalam ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai adzab kubur. Namun yang benar bahwa arti kehidupan yang sempit itu yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan di alam barzakh. Sesungguhnya orang yang berpaling dari peringatan yang telah diturunkan oleh Allah akan merasa bahwa kehidupannya sempit dan susah. Dia juga akan sering merasa takut, mempunyai harapan yang berlebihan, sangat payah mencari bahan duniawi, selalu merasa ragu ketika balum berhasil meraih harapan materialnya, dan merasa tersiksa kalau tidak bergelimang harta. Di samping itu ada beberapa hal kurang baik lain yang dialami oleh hatinya tanpa ia sadari. Ini disebabkan lantaran ia sedang mabuk dan karam dalam ambisi duniawinya itu. Dia tidak akan pemah sadar walau sesaat kecuali gres menyadari dan mencicipi sakitnya kondisi tersebut. Pada waktu itu ia akan segera menghindarkan dirinya untuk tidak jatuh yang kedua kalinya dalam kondisi mabuk. Dia akan terus mengalami kondisi mirip ini sepanjang hidupnya. Mana ada kehidupan yang terasa lebih sempit dibandingkan dengan kondisi hati yang mengalam i perasaa mirip itu ?

Orang-orang andal bid'ah, orang yang berpaling dari al-Qur'an, orang yang lalai kepada Allah dan orang-orang tukang berbuat maksiat, hatinya berada di dalam neraka Jahim sebelum dirinya masuk ke dalam neraka jahim yang sesungguhnya. Sedangkan hati orang-orang yang baik berada di dalam nirwana an-Na'im sebelum masuk ke dalam nirwana an-Na'im yang sebenarnya. Allah Tabaaraka wa Ta'aala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam nirwana yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar bcrada dalam neraka" (QS. al Infithaar (82):13-14)..

Kehidupan sempit berlaku dalam tiga daur kehidupan mereka (yakni kehidupan dunia, alam kubur dun akhirat), bukan hanya kehidupan alam abadi saja. Sekalipun kehidupan yang sangat menyiksa itu mencapai puncaknya di kehidupan akhirat. Sedangkan tingkatan yang lebih rendah lagi akan ia alami di dalam kehidupan alam barzakh. Allah Ta'aala befirman: "Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada adzab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuil" (QS. al Thuur (52):47). "Dan mereka (orang-orang kafir) berkata: " Bilakah datangnya adzab itu, kalau memang kau orang-orang yang benar".Katakanlah: "Mungkin telah hampir tiba kepadamu sebagian dari (adzab) yang kau minta (supaya) disegerakan itu." (QS. an-Naml (27):71-72).
-
Siksaan yang dialami di dalam kehidupan dunia ini memang lebih ringan dibandingkan dengan kehidupan sulit yang akan diterima seseorang di dalam alam barzakh. Hanya saja karam dalam mabuknya hasrat syahwat menyebabkan ia tidak menyadari kesempitan hidup tersebut dan sengaja membuang jauh-jauh dari hatinya. Mereka tidak merenungkan dan menyadari bahwa kondisi dirinya sudah sangat terpuruk.

Seorang hamba adakala mencicipi rasa sakit tersebut disekujur tubuhnya. Namun ia sengaja membuang jauh-jauh den bayangan hatinya dan tidak lagi memperdulikannya. Dia berusaha mengalihkan perhatian kepada obyek lain sehinga tidak seratus persen mencicipi kehidupan sempit itu. Akan tetapi kalau upaya pengalihan perhatian itu lepas dari dirinya, pasti ia akan kembali menjerit kesakitan. Bagaimana menurutmu dengan siksaan rasa sakit di dalam hati mirip ini? Bukankah malah sangat menyiksa? Allah Subhaanahu wa ta'aala telah menjanjikan hal hal positif dan menyenangkan untuk banyak sekali bentuk kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. Kenikmatan kesepakatan Allah itu jauh lebih menyenang kendati pada kenikmatan maksiat yang hanya bersifat sementara. Bahkan kenikmatan kesepakatan Allah itu tidak ada bandingannya. Namun sebaliknya, Allah akan menawarkan rasa sakit dan tersiksa jawaban perbuatan jelek dan tindak maksiat. Rasa sakit itu jauh lebih besar dibandingkan dengan kenikmatan yang ia rasakan sekejap ketika mengerjakan maksiat tersebut.

Ibnu Abbas radhiyallalu `anhumaa berkata: ”Sesungguhnya perbuatan baik itu mempunyai cahaya di dalam hati, pancaran di wajah, kekuatan di badan, menyebabkan rezeki semakin bertambah dan menanamkan rasa cinta di dalam hati makhluk. Sedangkan perbuatan jelek menyebabkan kesuraman diraut wajah, kegelapan di dalam hati. Kelemahan di fisik, menyebabkan rezeki berkurang, dan menanamkan rasa tidak suka di dalam hati makhluk. Hal ini sebenamya telah dibuktikan oleh orang-orang yang hatinya bersih. Dia akan bisa mencicipi kenikmatan itu, sedangkan orang lain tidak bisa menangkapnya.

Seorang hamba tidak akan mengalami kondisi yang sangat tidak menyenangkan kecuali kalau ia mengerjakan perbuatan dosa. Padahal kesalahan yang dimaafkan oleh Allah sudah sangat hanyak. Allah Ta'aala telah berfirman:"Dan sebuah petaka yang menimpa kau sebenamya disebabkan oleh perbuatan tanganmu sandiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahanmu)
(QS. al Syuura (42):30). "Dan mengapa ketika kau ditimpa petaka (pada peperangan Uhud), padahal kau telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu. (pada peperangan Badar) kau berkata: "Dari mana datangnya kekalahan) ini?" Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali -Imran(3):165). "Apa saja kebaikan (nikmat) yang menimpamu yaitu dari Allah dan apa saja keburukan (bencana) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi." (QS.An-Nisaa' (4):79).

Yang dimaksud dengan kebaikan dan keburukan di dalam ayat tersebut yaitu kenikmatan dan tragedi yang diterima oleh hamba dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Oleh lantaran itu disebutkan dengan kalimat "Apa saja yang menimpamu," tidak disebutkan dengan kalimat "Apa yang kau peroleh." Sebab pada hakekatnya semua berasal dari Allah Ta'aala.

Segala bentuk kekurangan, tragedi dan keburukan yang ada di dunia maupun di akhirat, tidak lain disebabkan oleh dosa hamba dan lantaran menyalahi perintah-perintah Allah Ta'aala. Tidak ada keburukan di muka bumi ini kecuali diakibatkan oleh dosa-dosa yang diperbuat oleh insan itu sendiri.

Pengaruh dari perbuatan baik dun jelek yang bisa dilihat dalam hati, badan, ataupun harta, benar-benar sebuah fenomena alam yang bisa dilihat dcngan indera mata. Tidak akan ada satu pun orang berakal sehat yang bisa mengingkarinya. Bahkan fenomana itu bisa dilihat oleh orang mukmin, orang kafir, orang baik maupun orang buruk.

Hamba yang bisa melihat bekas-bekas fenomena tersebut untuk kemudian direnungkan dan dipikirkan, maka ia termasuk orang yang memperkuat keimanannya dengan pedoman yang dibawa oleh para rasul. Dia juga memperkuat kualitas keimanan dalam dirinya dengan cara merenungkan pahala dan siksa.

Sesungguhnya semua itu merupakan gejala material yang bisa dilihat di muka bumi ini. Fenomena-fenomena tersebut merupakan ganjaran maupun siksa yang diawal kejadiannya yaitu di dunia. Fenomena-fenomena itu juga akan lebih berarti bagi orang-orang yang mempunyai kejelian hati. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang kepadaku (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah): "Jika saya telah mengerjakan sebuah dosa dan tidak segera saya kejar dengan taubat, maka saya menanti jawaban jelek yang akan terjadi. Jika sesuatu yang tidak menyenangkan itu telah menimpa diriku, apakah lebih ringan ataukah lebih parah, maka kebiasaan yang saya jalani yaitu bersaksi bahwa tidak ada ilahi selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad yaitu utusan Allah."

Efek negatif ini sebenamya menjadi bukti dan dalil-datil keimanan. Sesungguhnya orang yang jujur kalau kau beritahu bahwa apabila kau gres saja megerjakan begini- begitu maka akan berakibat yang begini dan begitu, maka ia akan semakin yakin dengan pemberitahuan tersebut. Apalagi kalau setiap kali kau menyampaikan tersebut dibarengi dengan bukti sesualu yang tidak menyenangkan. Namun perasaan semacam ini tidak selalu dimiliki oleh setiap orang. Bahkan secara umum dikuasai hati insan dipenuhi dengan noktah-noktah hitam lantaran perbuatan dosa. Dengan demikian ia tidak akan pemah melihat dan mencicipi wacana sesuatu yang sedang menimpanya.

Perasaan jujur terhadap jawaban dari sebuah perbuatan hanya bisa dirasakan oleh hati yang dipenuhi cahaya keimanan. Sedangkan atmosfer dosa dan maksiat akan bertiup kencang di dalamnya. Hati orang-orang jujur pun akan bisa mengakui fenomena yang tejadi jawaban suatu perbuatan. Dia akan bisa memperkirakan kekuatan cahaya keimanannya di tengah angin kencang angin dosa dan maksiat yang berhembus kencang. Dia melihat dirinya bagaikan pelaut di tengah samudra yang dilanda angin kencang. Perahu yang ditumpanginya sangat terancam untuk terbalik dan terancam pecah lantaran terhempas angin kencang yang dahsyat. Begitu juga dengan seorang mukmin yang selalu memonitor jiwanya ketika habis mengerjakan maksiat atau pun melaksanakan perbuatan dosa.


Ketika pintu ini telah terbuka bagi seorang hamba, maka memperhatikan sejarah insiden Bumi ini dan memperhatikan keadaan beberapa umat insan akan sangat bermanfaat baginya. Bahkan insiden yang menimpa masyarakat di sekitar dirinya bukan saja akan menawarkan manfaat yang sangat besar (namun akan memberi lebih dari sekedar manfaat-penj). Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta'aala: "Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. al Ra'd (13):33).
"Allah menyatakan sebetulnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang manegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"(QS. All Imruan (3):18).

Setiap keburukan, bencana, siksa, ketakutan dan kekurangan yang terjadi pada dirinya maupun orang lain termasuk dalam kerangka keadilan Allah Subhaanahu wa
Ta'aala. Demikianlah bentuk keadilan Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Hal itu sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah kepada orang-orang yang menciptakan kerusakan di muka bumi: “Maka bila tiba ketika eksekusi bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, kemudian mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana" (QS. al Israa' (17):5).

Dosa-dosa insan subenarnya mirip racun yang sangat membahayakan tubuh. Apabila dosa dosa itu segera diatasi oleh orang yang memasukkan obat ke dalam tubuh, maka mungkin racun itu bisa segera dilumpuhkan. Jika tidak, maka kekuatan imannya akan segera terkalahkan dan ia pun akan mengalami kebinasaan.

Sebagian ulama salaf ada yang berkata: Pcrbuatan perbuatan maksiat menuntut kekufuran sebagaimana juga demam terkadang juga menuntut kematian. Biasanya seseorang akan bisa melihat kekurangannya sehabis ia bermaksiat kepada Tuhannya. Karena perbuatan maksiat yang telah dikerjakan itulah hatinya menjadi berubah dan tidak lagi kasar. Dia akan menyadari kehinaan dirinya di hadapan anggota keluarga, anak-anak, isteri maupun saudara-saudaranya. Dia akan menginstrospeksi diri sehingga menyadari dari mana ia berasal. Kondisi jiwa mirip inilah yang menyebabkan keimanannya semakin kuat. Jika ia melepaskan semua lantaran yang bisa menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kehancuran itu, maka kadar keimanannya pun akan semakin kuat. Dia akan melihat adanya keperkasaan sehabis sebelumnya terhina, melihat kekayaan sehabis sebelumnya kefakiran, kebahagiaan yang sebelumnya kesusahan, keamanan yang sebelumnya rasa takut dan kekuatan sehabis sebelumnya lemah dan hina.

Bukti-bukti dan dalil-dalil keimanan itu semakin memperkuat pendirian hatinya baik ketika ia bermaksiat ataupun ketika menjalanhan ketaatan kepada Allah. Mereka ini sebenarnya termasukdalam firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebagai berikut: "Agar Allah menutupi; (mengampuni) perbuatan paling jelek yang telah mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."(QS. az-Zumar(39):35).

Ketika seseorang bisa menerapkan sudut pandang ini dengan sebenamya, maka ia akan menjadi salah seorang yang bisa mengobati hati dan bisa mengetahui penyakit dan obat bagi hati yang sedang sakit. Sehingga Allah 'Azza wa Jalla akan menawarkan manfaat kepada dirinya sendiri dan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Wollohu a'lam.

(Dikutip dari buku Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, berjudul “Masyaahid Al Khalq fi Al Ma’shiyah”, Al Maktab Al Islami, Beirut, Cetakan I, tahun 1405H/1985). Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi, S.Ag oleh penerbit Pustaka Azzam, Jakarta.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar