Al-Juwaini, Abdul Ma’Ali
JINNAH, MUHAMMAD ALI
(Karachi, 25 Desember 1876 – Karchi, 11 September 1948). Seorang politikus muslim India, pendiri negara Pakistan. Ia anak seorang saudagar.
Ali Jinnah pernah berguru di Bombay, dikala ia berusia 10 tahun. Setelah itu ia meneruskan pendidikannya di tempat kelahirannya, Karachi, pada salah satu madrasah al-Islam, semacam sekolah tingkat menengah. Pada tahun 1891, dikala berusia 15 tahun, ia berguru pada Mission High School. Ia meneruskan pendidikannya pada University of Bombay. Atas nasihat Frederick Leigh Croft (berkebangsaan Inggris), ia pergi ke London untuk melanjutkan pendidikan. Saat itu ia masih berusia 16 tahun. Di London, ia menentukan Lincoln’s Inn sebagai tempat pendidikannya. Di forum pendidikan tersebut para mahasiswa dipersiapkan untuk meraih keahlian di bidang aturan dan menjadi pengacara.
Pendidikan yang disebut terakhir ini sanggup diselesikannya dalam waktu dua tahun. Sesudah itu ia bekerja sebagai pengacara di London selama dua tahun. Kemudian ia kembali ke tanah airnya. Pada tahun 1897 (usia 21 tahun), ia membuka praktek sebagai pengacara di Bombay, berjulukan Macpherson. Macpherson sangat terkesan pada Ali Jinnah, si andal aturan berusia muda ini. Ia memberi kesempataan berharga kepada Ali Jinnah untuk memanfaatkan perpustakaan pribadinya. Hal ini merupakan kesempatan baik yang tidak diduga sebelumnya oleh Ali Jinnah.
Pada taahun 1906, Ali Jinnah mulai melibatkan diri dalam percatuan politik di negaranya. Perjuangannya di bidang politik ejalan dengan wangsit yang dicetuskan oleh Muhammad Iqbal, yaitu bagi umat Islam India perlu adanya negara sendiri yang terpisah dari negara umat Hindu. Ali Jinnah berjuang dengan gigih, memerlukan waktu yang cukup panjang, dan berupaya menyingkirkan setiap hambatan yang dihadapinya. Mula-mula ia mendirikan partai Liga Muslimin India (pada tahun 1906), dengan tujuan melindungi dan meningkatkan hak-hak politik serta kepentingan umat Islam yang berad di India, dan mencegah timbulnya pemaksaan atau tekanan dari komunitas lainnya.
Kebijkan Ali Jinnah, semenjak ia terpilih sebagai Presiden Liga Muslimin 1913, selain ditujukan untuk kemajuan umat Islam, juga pada mulanya untuk persatuan umat Islam dan umat Hindu meraih kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan seluruh wilayah India dari cengkraman penjajah (Inggris).
Untuk mencapai kemerdekaan tersebut, Ali Jinnah mengdakan pendekatan dengan Partai Konggres. Salah satu hasil pendekatan tersebut ialah terwujudnya perjanjian Lucknow 1916, yang menguntungkan bagi posisi umat Islam, yaitu kepada umat Islam akan diberikan kawasan pemilihan terpisah, dan ketentuan ini akan dicantumkan dalam UUD India yang akan disusun.
Ali Jinnah berusaha mengokohkan perpaduan antara umat Islam dan umat Hindu dalam kesempatan pertemuan Liga Muslimin dan Partai Konggres di Calcutta pada bulan Desember 1917. ia menegaskan bahwa “India tidak akan diperintah oleh umat Hindu, dan tidak pula oleh umat Islam, tatapi India harus diperintah oleh rakyat India, dalam arti, diperintah oleh umat Islam dan umat Hindu secara bersama-sama. Tuntutan kita yaitu memindahkan kekuasaan ke tangan rakyat India dalam waktu yang tidak begitu lama, dan ini merupakan prinsip pembaharuan kita.”
Di balik usaha itu Jinnah sering menemukan hambatan lantaran umat Hindu selalu memnfaatkan kondisi myoritasnya untuk mendapatkan kepentingan mereka. Nampaknya terlalu sulit dicapai pandangan yang sama antara kedua golongan ini. Hal ini disebabkan oleh pandangan hidup yang berbeda, lantaran perbedaan agama yang selalu ingin ditonjolkan oleh setiap pihak.
Pada tahun 1930 – 1932 di London diadakan Konferensi Meja Bundar mengenai perubahan-perubahan ketatanegaraan dalam proses menuju kemerdekaan India. Di konferensi ini Ali Jinnah merasa kecewa lantaran orang-orang Hindu memaksakan pendapat mereka dengan memakai mayoritasnya. Kekecewaan ini menciptakan ia tidak kembali lagi ke India dan menetap di London. Ia tidak akan berjuang untuk kepentingan rakyat India, selama umat Hindu memaksakan pendapat mereka.
Pada tahun 1930 Ali Jinnah menerima angin segar, dikala Sir Muhammd Iqbal mencetuskan gagasannya mengenai pendirian negara Islam Pakistan yang terpisah dari India. Kemudian atas undangan umat Islam India, melalui Liaquat Ali Khan, ia kembali ke India pada tahun 1934, dan meneruskan memimpin Liga Muslimin India.
Dengan kepemimpinannya Liga Muslimin semakin muncul ke permukaan. Melalui sidang di Lahore yang dipimpin pribadi oleh Ali Jinnah, berhasil dicetuskan resolusi yang populer dengan “Resolusi Lahore” atau “Resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlul Haque, digelari Singa Bangali (Sher Bangali). Resolusi berbunyi: “Umat Islam India merupakan suatu bangsa. Umat Islam harus memiliki tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu, dan tidak akan mendapatkan konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini.”
Pengalaman pahit dilami oleh Liga Muslimin pada pemilihan umum pertama tahun 1937. Liga Muslimin tidak memperoleh bunyi yang berarti, sedngkan Partai Konggres, yang pada waktu itu dipimpin oleh Pandit Jawaharlal Nehru, menerima kemenangan besar. Liga muslimin dianggap tidak memiliki kekuatan politik yang berarti.
Kekalahan tersebut menciptakan umat Islam menyadari posisi mereka. Akibatnya, timbul semangat yang menggebu-gebu. Ternyata pada pemilihan umum berikutnya (1946) Liga Muslimin sanggup berjaya dalam pengumpulan suara. Dengan demikian, kekuatan politik umat Islam bertambah berpengaruh dibawah kepemimpinan Ali Jinnah.
Kewibawaan Ali Jinnh terbukti dikala ia dengan tegas mengtakan dihadapan Pemerintah Inggris dan Partai Konggres bahwa ia ingin membentuk pemerintahan sementara. Selain itu, ia juga berani memboikot rencana sidang Dewan Konstitusi (1946).
Kemelut politik bertambah panas dikala terjadi pertikaian antara umat Islam dan umat Hindu, antara lain terjadi di Calcuta yang menewaskan 5.000 orang dari kedua belah pihak, dan di Binhar yang menewaskan sekitar 7.000 – 8.000 orang. Peristiwa tersbut menciptakan umat Islam semakin keras menuntut berdirinya negara Pakistan sebagai negara umat Islam.
Pemerintah Inggris sudah semakin sulit mengendalikan situasi. Akhirnya Pemerintah Inggris memutuskan untuk menyerahkan kedaulatan kepada kedua Dewan Konstitusi, India diberikan kepada umat Hindu, dan satunya lagi Pakistan untuk umat Islam. Pada tanggal 14 Agustus 1947, lahirlah Pakistan sebagai negara bagi umat Islam.
Keberhasilan Ali Jinnah membidani kelahiran negara Pakistan sebagai negara umat Islam bermula dari langkah awal dengan pedoman pembaharuan seorang tokoh Syah *Waliyullah pada kurun ke-18, dikembangkan oleh Sayid Ahmad Khan dan tokoh-tokoh gerakan Aligarh pada kurun ke-19, dan pada kurun ke-20 dipacu oleh pemikiran-pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan lain-lain, yang bermuara pada usaha umat Islam yang semakin berpengaruh dan gigih dibawah pimpinan Ali Jinnah sehingga meraih kemenangan dan berhasil mendirikan negara Pakistan yang mereka dambakan.
Ali Jinnah populer sebagai tokoh yang dinamis, kreatif, dan bekerja tidak kenal lelah. Ide pembaharuannya yang paling menonjol yaitu di bidang politik. Semula ia menghendaki India harus terlepas dari penjajahan. Kemerdekaan India harus diupayakan bersama oleh umat Islam dan umat Hindu. Tetapi lantaran situasi tidak menampakkan peluang untuk berhasil, ia mengubah pendiriannya. Ide barunya timbul: umat Islam harus memiliki negara tersendiri, terpisah dari umat Hindu. Ali Jinnah yaitu tokoh yang memiliki ketajaman pemikiran, sanggup membaca situasi dengan cermat, dan mengambil keputusan yang tepat. Ia yaitu tokoh dikalangan umat Islam yang berwibawa, disegani oleh mitra dan lawan. Apa yang ia dambakan terwujud dalam kenyataan, sebelum iamengakhiri hidupnya (11-9-1948) dalam usia 72 tahun. Ia sempat satu tahun memimpin negara Pakistan yang didirikannya.
(Bustanikan, Nisabur, 18 Muharram 419/12 Februari 1058 – Bustanikan, 23 Rabiulkhir 478/20 Agustus 1085). Ahli fikih, andal usul fikih, dan andal ilmu kalam (teologi), guru besar dari Marasah Nizamiah, di mana Imam Gazali pernah belajar. Nama lengkapnya ialah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini an-Nisaburi, populer dengan julukan Imam Haramain, lantaran pernah tinggal di dua tanah suci (Mekah dan Madinah).
Pertama kali ia berguru pada ayahnya, asy-Syaikh Abdullah, seorang keturunan Arab yang berdarah bangsawan. Untuk memperdalam ilmu pengetahuan, al-Juwaini kemudian meninggalkan Nisabur dan pergi ke Baghdad. Setelah itu ia pindah ke Mekah dan Madinah. Ia menetp disana selama empat tahun sambil belajar.
Atas undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasah Nizamiah di Nisabur, al-Juwaini kembali ke negerinya dan mengajar di madrasah tersebut hingga final hayatnya. Imam al-Gazali, yang menerima julukan Hujjah al-Islam (Pendekar Islam), yaitu lulusan akademi Nizamiah yang diasuh al-Juwaini. Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari ini juga dsiebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkannya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat.
Diya’ ad-Din, yang berarti cahaya agama, merupakan gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini lantaran kelebihannya dalam meneragi hati dan pikiran para pembela iktikad Islam, yang karenannya menangkis serangan para pengikut golongan “sesat” yang telah terjerumus ke dalam kegelapan.
Al-Juwaini menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah lantaran kekhasan metodenya dalam membela paham Suni. Menurutnya, iktikad yang benar ialah yang didasarkan atas kebijaksanaan dan naql serta kombinasi antara keduanya. Akal itu cahaya Tuhan yang sifatnya fitrawi sebagai tanda kecintaan Tuhan kepada insan dan untuk menjadi media (wasilah) bagi ilmu pengetahuan.
Sedangkan an-Naql yaitu semata-mata kasus daya serap telinga yang wajib diyakini kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian kebijaksanaan atasnya. Karena pendirian ini, ia disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama Asy’ariyah, sejajar dengan al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi. Pandangannya bahwa kebijaksanaan dan kebijaksanaan budi akan sanggup mengantar insan kepada keyakinan mantap membawanya kepada pendirian bahwa penggunaan kebijaksanaan budi dalam soal agama yaitu wajib berdasarkan syarak. Karena kekhasan metodenya itu pulalah maka ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, hingga Imam Abu Hasan al-Asy’ari sekalipun.
Al-Juwaini juga merupkan seorang pengarang yang produktif sebagaimana sanggup dilihat dari belasan atau bahkan puluhan karya ilmiahnya yang mencakup beberapa cabang keilmuan terutama dalam bidang usul fikih, menyerupai al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih); dan al-Waraqat (Sehelai Kertas); dalam bidang fikih, contohnya Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan Yang Tuntas Dalam Ilmu Mazhab); dan dalam bidang ilmu kalam menyerupai al-Kamil fi Ikhtisar asy-Syamil (Kitab Yang Sempurna Dalam Ikhtisar Yang Mencakup), Risalah fi Usul ad-Din (Rialah Tentang Dasar Agama), Nizamiyyah fi al-Arkan al-Islamiyyah (Sistemtika Rukun-Rukun Islam), dan lain-lain.