Skip to main content

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Uud-Ri Dan Uu Nomor 10 Tahun 2004 Ihwal Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENURUT UUD-RI DAN UU NOMOR 10 TAHUN 2004
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia, jenis dan tata urutan (susunan) peraturan perundang-undangan belum pernah dituangkan dalam suatu instrumen aturan yang termasuk jenis peraturan perundang-undangan, secara teratur dan komprehensif. Dalam UU No.1/1950 wacana Peraturan wacana Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945) dan UU No.2/1950 wacana Menetapkan Undang-Undang Darurat wacana Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan wacana Mengeluarkan Mengumumkan dan Mulai Berlakunya UU Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (dikeluarkan berdasarkan KRIS 1949) memang diatur mengenai mengenai jenis-jenis peraturan perundang-undangan namun belum ditata secara hirarki berdasarkan teori stufen (jenjang) norma aturan Hans Kelsen/Hans Nawiasky. Demikian pula dalam Surat Presiden kepada dewan perwakilan rakyat No.2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, dan Surat Presiden kepada dewan perwakilan rakyat No.2775/HK/59 tanggal 22 September 1959 tentang Contoh-Contoh Peraturan Negara, serta Surat Presiden kepada dewan perwakilan rakyat No.3639/HK/59 tanggal 26 November 1959 tentang Penjelasan Atas Bentuk Peraturan Negara, jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Surat-surat tersebut tidak ditata secara hirarkis. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) diletakkan di atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
Setelah tumbangnya pemerintahan orde usang pada tahun 1966, DPR-GR pada tanggal 9 Juni 1966 mengeluarkan memorandum yang diberi judul Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam Memorandum DPR-GR tersebut berisi :
a.       Pendahuluan yang memuat latar belakang ditumpasnya pemberontakan G-30-S PKI;
b.      Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia;
c.       Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia;
d.      Bagan/Skema Susunan Kekuasaan di Dalam Negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR ini lalu dalam Sidang MPRS Tahun 1966 (20 Juni – 5 Juli 1966) diangkat menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XX/MPRS/1966 (disingkat TAP MPRS No.XX/MPRS/1966).
Dalam Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia (Lampiran Bagian II) dimuat secara hirarkis jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR (TAP MPR);
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya ibarat : Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dll.
TAP MPRS ini dalam Sidang MPR tahun 1973 dan MPR Tahun 1978 dengan TAP MPR No.V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 akan disempurnakan. Namun hingga dengan runtuhnya pemerintahan orde gres TAP MPRS tersebut tetap tidak diubah walaupun di sana sini banyak menjadikan kontroversi khususnya dalam jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangannya.
 Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Juli 1998 yang menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Habibie, lalu dilanjutkan dengan Sidang spesial (SI) MPR pada tahun yang sama, dan dilanjutkan dengan Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999 (hasil Pemilu 1999), lalu dilanjutkan dengan Sidang Tahunan MPR tahun 2000, barulah MPR memutuskan TAP MPR No.III/MPR/2000 wacana Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan) peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 yaitu sebagai berikut:

1.    UUD-RI;
2.    Ketetapan (TAP) MPR;
3.    Undang-Undang (UU);
4.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5.    Peraturan Pemerintah (PP);
6.    Keputusan Presiden (Keppres); dan
7.    Peraturan Daerah (Perda).

            Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut jikalau dibaca sepintas seolah-olah jenis peraturan perundang-undangan bersifat limitatif yaitu hanya berjumlah 7 (tujuh) yaitu: UUD-RI, TAP MPR, UU, Perpu, PP, Keppres, dan Perda. Artinya, di luar yang 7 (tujuh) jenis, bukanlah peraturan perundang-undangan. Apalagi di dalam pasal-pasal TAP MPR III/MPR/2000 tersebut dipakai istilah lain yang maksudnya sama yaitu "aturan hukum". Padahal jikalau kita baca kalimat pembuka Pasal 2 yang berbunyi: Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan aliran dalam pembuatan aturan aturan di bawahnya, dikaitkan dengan Pasal 4 TAP MPR tersebut yang berbunyi :
(1) Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan aturan yang lebih rendah dihentikan bertentangan dengan aturan aturan yang lebih tinggi.
(2) Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibuat oleh Pemerintah dihentikan bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.
Apabila ditafsirkan secara gramatika, sistematikal, dan wet/rechthistorische interpretatie, ditambah logika hukum, serta asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka jenis dan tata susunan/urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan dalam Pasal 2 tidak bersifat limitatif. Bahkan jikalau dilihat dari sudut definisi peraturan perundang-undangan yaitu : Keseluruhan aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga/pejabat negara yang berwenang di Pusat dan Daerah yang isinya mengikat secara umum, maka jenis peraturan perundang-undangan tidak hanya 7 (tujuh) jenis. Setiap lembaga/pejabat negara tertentu sanggup diberikan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh Undang-Undang Dasar maupun UU. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu sanggup berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. Kewenangan atributif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu kewenangan asli (orisinil) yang diciptakan –sebelumnya tidak ada – oleh Undang-Undang Dasar atau UU yang diberikan kepada lembaga atau pejabat tertentu. Sedangkan kewenangan derivatif/delegatif yaitu kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada pejabat atau lembaga tertentu dibawahnya, untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif. Sebagai pola kewenangan atributif yaitu dewan perwakilan rakyat dan Presiden sebagai pembentuk UU (vide Pasal 20 UUD-RI jo Pasal 5 ayat (1) UUD-RI). Dalam Pasal 18 ayat (1) abjad d UU No. 22/1999, DPRD dan Kepala Daerah diberikan kewenangan atributif untuk membentuk perda (Perda).
Berdasarkan uraian di atas, maka jikalau kita kaitkan dengan kalimat pembuka Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (2) TAP MPR III/2000 secara interpretatif dan logika aturan sebagaimana disebutkan di atas sanggup ditarik kesimpulan bahwa Pasal 2 TAP MPR No. III/2000 tidak bersifat limitatif. Artinya, disamping 7 (tujuh) jenis peraturan perundang-undangan, masih ada jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama ini dipraktikkan dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 4 ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000. jenis peraturan perundang-undangan lain yang tidak ditempatkan pada Pasal 2 antara lain yaitu :
1. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat pseudowetgeving);
2. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);
3. Peraturan Bank Indonesia;
4. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan (regeling);
5. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling), yang didasarkan pada kewenangan derivatif/delegatif yang diberikan oleh Presiden, UU/PP.

Masalahnya, jenis peraturan perundang-undangan di luar Pasal 2 TAP MPR tersebut akan ditempatkan di mana. Apakah di bawah Perda, ataukah di atas Perda. Berdasarkan logika hukum, maka peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tingkat Daerah yang hanya bersifat lokal/regional. Jika ditempatkan di bawah Perda, Pertama, akan bertentangan dengan asas hierarki peraturan perundang-undangan. Kedua akan bertentangan dengan asas wilayah berlakunya peraturan perundang-undangan. Oleh alasannya yaitu itu dengan memakai interpretasi, asas, dan logika hukum, maka tata susunan (hierarki) peraturan perundang-undangan sebagaimana tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (2) berdasarkan penulis menjadi :
1. UUD-RI;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keppres dan Keputusan Ketua BPK yang bersifat pengaturan (regeling);
6. Peraturan Bank Indonesia[i]
7. Keputusan Menteri (Kepmen) yang bersifat pengaturan (regeling) :
8. Keputusan Ketua/Kepala LPND/Komisi/Badan yang bersifat pengaturan (regeling);
9. perda Propinsi;
10. Keputusan Gubernur Propinsi yang bersifat pengaturan (regeling);
11. perda Kabupaten/Kota;
12. Keputusan Bupati/Walikota yang bersifat pengaturan (regeling); dan
13. Peraturan Desa (Perdesa).
Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut, Perpu diletakkan di bawah UU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22 UUD-RI (beserta Penjelasannya walaupun kini sudah dicabut). Dalam Pasal 22 UUD-RI dikatakan bahwa Perpu itu sebagai pengganti UU. Kata "pengganti" mengindikasikan bahwa Perpu itu setingkat UU. Sedangkan dalam penjelasannya dikatakan dengan tegas bahwa Perpu itu memiliki kekuatan (hukum) yang sama dengan UU. Dalam perkembangan konstitusi di Indonesia, Penjelasan Pasal 22 UUD-RI ini lalu "dituangkan" dalam Pasal 139 KRIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950 dengan nama "Undang-undang darurat", yang setingkat dan memiliki kekuatan yang sama dengan UU.
Dengan demikian para founding father/mother kita semenjak rapat-rapat BPUPKI dan PPKI, penambahan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1946, dan lalu dituangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 menempatkan Perpu/undang-undang darurat sejajar dengan UU dan memiliki kekuatan (hukum) yang sama dengan UU. Oleh alasannya yaitu itu, apapun alasannya penempatan Perpu dibawah UU tidak sanggup dibenarkan alasannya yaitu bertentangan dengan Pasal 22 UUD-RI. Dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut yang diawali dengan kata "keputusan" atau "peraturan" dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) menjadikan kerancuan apabila dikaitkan dengan hak uji (materiel) yang diberikan kepada MA (judicial review). Apabila dibaca Pasal 4 ayat (2), maka dimungkinkan adanya "Keputusan" MA dan "Peraturan MA" atau Perma. Karena Peraturan MA bukan merupakan produk atau hasil dari hak uji materiel, maka berdasarkan penafsiran, hasil dari hak uji materiil yaitu "Keputusan" MA. Hal ini dikuatkan lagi dengan suara Pasal 5 ayat (4). Namun berdasarkan penelitian, dalam kaitannya dengan hak uji materil, MA tidak menciptakan "Keputusan", tetapi yang dibuat yaitu "Putusan" (vonis) pada tingkat kasasi. Oleh alasannya yaitu itu seharusnya kata "Keputusan" pada Pasal 5 ayat (4) TAP MPR tersebut harus diganti dengan kata "Putusan" berkaitan dengan Perpu yang diletakkan di bawah UU maka hal ini akan menjadikan kerancuan alasannya yaitu memiliki implikasi yuridis dan politis yang merepotkan para pembentuk peraturan perundang-undangan. Kalau Perpu diletakkan dibawah UU, MA sanggup menguji Perpu terhadap UU. Padahal Perpu itu yaitu suatu "UU tertunda", bukan merupakan peraturan pelaksana UU. Apabila Perpu tersebut diuji oleh MA dan dikatakan atau diputuskan bertentangan dengan UU maka Perpu itu harus dicabut oleh Pemerintah, padahal dalam Pasal 22 UUD-RI yang memerintahkan pencabutan Perpu yaitu UUD.
Jadi, apabila MA membatalkan Perpu berarti bertentangan dengan Pasal 22 UUD-RI. Disamping itu jikalau umpamanya Perpu yang diuji oleh MA dan diputuskan harus dicabut, Pemerintah tetap meneruskan Perpu tersebut ke dewan perwakilan rakyat dan lalu dewan perwakilan rakyat menetapkannya menjadi UU, apakah dalam hal ini tidak terjadi kerancuan dan tumpang tindih, yang sanggup menjadikan implikasi politis dan yuridis dalam bentuk conflict of interest diantara lembaga-lembaga negara tersebut baik sebagai pembentuk UU maupun sebagai lembaga politik.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.I/MPR/2003 wacana Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (selanjutnya disingkat TAP MPR No.I/MPR/2003) yang berisi peninjauan kembali (legislative review) terhadap lebih dari 130 TAP MPR (S) dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut dikatakan bahwa antara lain : TAP MPR No. III/MPR/2000 tetap berlaku hingga dengan terbentuknya undang-undang. Menjadi pertanyaan kita UU apa yang akan menggantikannya. Berdasarkan penafsiran sebagaimana tersebut diatas, maka UU yang dimaksud berdasarkan irit penulis ada dua yaitu : UU wacana Mahkamah Konstitusi (UU No. 24/2003) dan UU wacana Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disingkat UU-P3 (UU No. 10/2004). Setelah lahirnya UU-P3 sebagai pengganti (bukan mencabut) TAP MPR No. III/MPR/2000, maka berdasarkan Pasal 7 UU-P3 dan Penjelasannya ditambah juga interpretasi ibarat diatas, maka jenis dan tata urutan/susunan (hirarki) peraturan perundang-undangan kini yaitu sebagai berikut :
1.      UUD-RI (tanpa tambahan 1945, alasannya yaitu esensinya sudah berubah sama sekali sehabis dilakukan amandemen sebanyak empat kali dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan perubahan yang terjadi lebih dari 90%, sehingga berdasarkan Penulis lebih baik disebut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, disingkat (UUD-RI);
2.      TAP MPR (ke depan mungkin tidak akan dikeluarkan lagi bentuk TAP MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan alasannya yaitu MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat melainkan sekedar sebagai lembaga negara yang bersifat "forum" yang eksis jikalau ada joint session antara dewan perwakilan rakyat dan DPD);
3.      Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
4.      Peraturan Pemerintah (PP);
5.      Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan lembaga negara atau organ/badan negara yang dianggap sederajat dengan Presiden antara lain : Peraturan Kepala BPK, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Komisi Yudisial,
6.      Peraturan Menteri (Permen) sepanjang diperintahkan atau didelegasikan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan di atasnya.
7.      Peraturan Kepala LPND/Komisi/Badan/atau Peraturan Ditjen suatu Departemen, sepanjang diperintahkan atau didelegasikan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan di atasnya;
8.      Peraturan Daerah Propinsi;
9.      Peraturan Gubernur Propinsi;
10.  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
11.  Peraturan Bupati/Walikota;
12.  Peraturan Desa (Perdesa).
Dasar aturan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat tempat ini di samping TAP MPR No. III/MPR/2000 yaitu Pasal 18 ayat (1) abjad d UU No.22/1999 wacana Pemerintahan Daerah (untuk Perda), Pasal 72 UU No.22/1999 untuk Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan (regeling), dan Pasal 104 dan Pasal 105 UU No.22/1999 untuk Peraturan Desa (yang sejenis contohnya Nagari). Sekarang UU No.22/1999 telah diganti dengan UU No.32/2004. Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembentukan Perda yaitu Pasal 136 s/d Pasal 147 UU No.32/2004. Di samping itu secara konstitusional Perda dan peraturan-peraturan lain untuk menjalankan otonomi tempat mendapat dasar konstitusionalnya dalam Pasal 18 ayat (6) UUD-RI yang berbunyi : Pemerintah tempat berhak memutuskan peraturan tempat dan peraturan-peraturan lain untuk melakukan otonomi dan kiprah pembantuan.



Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar